Jumat, 17 Agustus 2012

IPDN Undercover : Sebuah Kesaksian Bernurani

 http://kupanglibrary.blogspot.com/2012/08/ipdn-undercover-sebuah-kesaksian.html

Sejak kematian praja Wahyu Hidayat tahun 2003 hingga Cliff Muntu belum lama ini, Inu Kencana Syafiie menjadi rujukan banyak media. Dosen IPDN itu terkenal vokal membeberkan banyak borok yang terjadi di institusi tempat ia mengabdi. "Semua media nasional sampai Al-Jazeera pernah mewawancarai saya," katanya. Tak pelak, ia menjadi pesohor.

Tapi Inu tidak memanfaatkan ketenarannya untuk menjadi penyanyi dangdut atau pengusaha kuliner. Dosen kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, 14 Juni 1952, ini menulis dan menerbitkan buku. Sudah 42 buku ia tulis, rata-rata text book untuk perkuliahan di IPDN. Kini Inu mencurahkan isi hati lewat buku teranyarnya: IPDN Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani, Curhat Ala Inu Kencana Syafiie.

Buku ini adalah kumpulan tulisan Inu dari tahun 2003 hingga 2007. "Beberapa pihak menyuruh saya tutup mulut. Mereka membuat kontra-isu bahwa saya mencari popularitas, mencari uang, jabatan, sensansi, dan lain-lain. Saya ingin menjelaskan pada dunia bahwa semua ini berangkat dari hati nurani," kata suami Indah Setriyati itu.

IPDN Undercover menjadi rujukan yang sangat mumpuni mengenai sejumlah kejadian di IPDN. Ia menulis saat publik mulai tersentak dengan kematian praja asal kontingen Jawa Barat, Wahyu Hidayat, pada 2003. Dimulai dari kejadian pada Agustus 2006. Waktu itu, IPDN akan mewisuda prajanya yang telah lulus. Inu membaca daftar nama wisudawan.

Inu kaget bukan main karena dalam daftar itu tercantum nama-nama praja yang telah melakukan tindak kekerasan terhadap Wahyu Hidayat. Inu gerah. Malam sebelum wisuda, ia nekat menelepon Presiden SBY melalui juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng. "Saya minta izin untuk membeberkan fakta tentang calon wisudawan yang seharusnya ada di balik terali besi untuk mempertanggungjawabkan kasus pembunuhan," kata Inu.

Melalui Andi pula, presiden memberi izin. Lantas Inu pun membeberkan fakta curang itu kepada wartawan. Keesokan harinya, di berbagai media terbit berita berjudul kontroversial: "Presiden Melantik Narapidana". Karena "ulahnya" itu, Inu disidang oleh para petinggi IPDN. "Saya dianggap menjelek-jelekkan almameter," paparnya.

Dari tulisan-tulisan dalam buku ini tergambar filsafat hidup dan sejarah terbentuknya karakter "nekat" dalam diri ayah tiga anak itu. Ketika ia menggambarkan momen kala jenazah Wahyu Hidayat keluar gerbang IPDN, yang kala itu masih bernama STPDN. Tak ada raut sedih dari warga IPDN. "Banyak orang yang malah tertawa," tulisnya.

Inu lantas bertanya-tanya, "Di mana letak keadilan? Jika kasus Wahyu Hidayat dilupakan dan para pembunuhnya dibiarkan berlaku seenaknya," katanya. Tak hanya itu. Inu juga membeberkan rentetan fakta menyimpang "di bawah permukaan" IPDN. Soal seks bebas dan narkoba. Ia tak sungkan pula membeberkan tingkah laku para dosen serta praja dalam bab berjudul "Membongkar Kasus STPDN" --bagian yang agaknya paling menarik dari buku ini.

Dalam buku ini, Inu, misalnya, bercerita soal praja yang membawa kabur istri orang. Kejadian itu berlangsung di Pandeglang saat para praja melakukan bakti karya praja. Dosen yang kerap memutar musik saat mengajar ini pun tak jengah mengungkapkan soal pesta seks para praja dengan mengundang PSK alias pekerja seks komersial. Inu juga menyentil seorang dosen IPDN, yang kabarnya menjadi bintang VCD porno! Parahnya, dosen tersebut sempat duduk di Komisi Disiplin IPDN. Dekadensi moral oknum warga IPDN itu sempat membuatnya kehilangan kesabaran.

"Hancurkanlah sekolah ini, ya Allah, dan ganti dengan yang lebih baik." Begitu ia berdoa. Doanya pun terjawab. Pemerintah, sejak kasus Cliff Muntu mencuat, menerjunkan tim evaluasi yang dipimpin Ryaas Rasyid. Aparat kepolisian menetapkan banyak pihak menjadi tersangka kematian Cliff. Bahkan polisi berjanji menangkap para praja yang melakukan kekerasan dan ditayangkan sejumlah televisi.

Wisnu Wage Pamungkas
[Buku, Gatra Edisi 24 Beredar Kamis, 26 April 2007]

Download Ebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar